Senin, 27 Mei 2013

Tanya Jawab Seputar Bid'ah & Pengertian dari Hadist Kullu Bid'atin Dholalah




MEMAHAMI KALIMAT: “KULLU BIDH’ATIN DHOLALAH; SETIAP BID’AH ADALAH SESAT”
Bagaimana definisi bid'ah menurut Ahlussunnah waljama'ah:
Jawab:
1. Bid’ah Syar’iyyah, yaitu tiap-tiap ucapan,perbuatan atau i’tiqad yang
bertentangan dengan Alkitab (Al-
Qur’an), Assunnah (hadist Nabi
saw),Alijma’ Alqiyas
2. Bid’ah Lughawiyyah, yaitu segala sesuatu yang di ciptakan / belum
terjadi di jaman Rasulullah

Tanya :
Betulkah semua bid’ah itu
sesat? Dan bagaimana menurut faham
Ahlu sunnah waljama’ah?
Jawab :
Menurut faham Ahlu sunnah waljama’ah itu bid’ah ada dua macam, yaitu :

a. Bid’ah hasanah (Bid’ah yang baik / bagus) Sebagaimana yang terjadi di jaman Kholifah Umar Bin Khoththob “tarowih” para sahabat Nabi di masjid Nabawiy (Madinah) yang di lakukan terus menerus dengan berjamaah”.
Dalam menanggapi masalah ini Kholifah Umar Bin Khoththob berkata :
Yang artinya . “Sebaik baik bid’ah adalah ini ( yakni
sholat tarowih yang di kerjakan dengan
berjamaah berturu-turut )”

Jadi istilah Bid’ah hasanah ini di ambil dari sabda kholifah Umar tersebut di atas. Tak seorang sahabatpun yang menentang/menyalahkan sabda Kholifah Umar ini.Tegasnya semua berij’ma atas kebenaranya. Jadi landasan/sumber istilah” Bid’ah hasanah”tersebut adalah hasil mufakat (ijma’) para sahabat dari sunnah qouliyah Nabi yang artinya Hendaknya kalian berpegang teguh
dengan sunnahku dan sunnah khulafaur
rasyidin sesudahku………
Yang artinya . Ikutilah orang-orang sesudahku,Abu
Bakar dan Umar

Tanya :
Mengapa Kholifah Umar maupun Ulama Ahli sunnah waljama’ah mengatakan bid’ah hasanah? Jawab :
Ya,sebab arti bid’ah secara lughawi yaitu segala sesuatu yang belum pernah terjadi di zaman rasulullah saw. Dan di hukumi hasanah / bagus menurut syara’,karena perbuatan itu menurut dalil-dalil umum syara’ bisa di landasi kebenaranya.

Tanya :
Sekarang Kita teruskan tentang apa bid’ah Sayyiah itu? Jawab : Bid’ah Sayyiah (Bid’ah yang buruk)
Istilah ini sumbernya adalah Hadist Yang artinya Berhati – hatilah kalian /kalian jangan
mengada- adakan ciptakan baru
sesungguhnya sebagian bid’ah (ciptaan
baru) itu kesesatan.” Dari ummil mu’minin /Ummi
abdillah /’aisyah ra.beliau berkata :

Sabda Rasulullah saw Yang artinya “Barang siapa mengada-adakan hal
baru dalam agama yang bukan dari
agama kami,maka hal itu di tolak
(bathil)”
Jadi seumpama kita mengerjakan sholat subuh empat rakaat atau salat jenazah dengan rukuk dan sujud atau mengerjakan Jum’ah sebelum khotbah,atau sholat ‘id(hari raya) dengan mendahulukan khutbah dll.itu memang di tolak,sebab yang demikian itu memang tidak ada sumbernya dari agama.

Adapun yang ada sumbernya dari
agama seperti tarowih 20 rokaat
adzan jum’ah dua kali dll,tidaklah
termasuk yang di tolak.

Tanya :
Sebagian golongan ada yang mengatakan bahwa segala sesuatu yang belum pernah terjadi pada zaman Nabi saw, itu di hukumi bid’ah.Betulkah itu?
Jawab :
Memang menurut istilah Lughowinya betul pendapat ini. Tetapi bid’ah yang ini terbagi menjadi lima macam :
a. Bid’ah wajibah ‘alal kifayah
Misalnya mempelajari ilmu – ilmu bahasa arab sebagai memahami Al- Qur’an dan Alhadist
b. Bid’ah muharromah
Misalnya seperti i’tiqad dan hal ihwal Ahli bid’ah yang bertentangan dengan tariqat Ahli
sunnah wal jama’ah.
c. Bid’ah mandubah
Yaitu seperti perbuatan-perbuatan yang baik yang tidak terjadi pada zaman Rasulullah saw.seperti mendirikan madrasah- madrasah untuk memudahkan cara- cara memberikan pelajaran agama para murid.
d. Bid’ah Makruhah
Misalnya seperti menghias masjid dengan hiasan berlebih-lebihan.
e. Bid’ah Mustahabaah
Seperti bermewah-mewahan dalam makan dan minum.

Tanya:
Dalam surat
al-Maidah, ayat 3 disebutkan:
“Pada hari ini aku sempurnakan bagimu agamamu dan aku sempurnakan bagimu nikmat-Ku.” (QS. al-Maidah : 3)”
Bukankah ayat di atas menegaskan bahwa Islam telah sempurna. Dengan demikian, orang yang melakukan bid’ah hasanah berarti berasumsi
bahwa Islam belum sempurna,sehingga masih perlu disempurnakan dengan bid’ah hasanah.”
Jawab:
“Ayat 3 dalam surat al-Maidah yang disebutkan tidak berkaitan dengan bid’ah hasanah. Karena yang dimaksud dengan penyempurnaan
agama dalam ayat tersebut, seperti dikatakan oleh para ulama tafsir, adalah bahwa Allah
subhanahu wa ta’ala telah menyempurnakan kaedah-kaedah agama.

Seandainya yang dimaksud dengan ayat tersebut, tidak boleh melakukan bid’ah hasanah, tentu saja para sahabat sepeninggal Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam tidak akan melakukan bid’ah hasanah.
Sayidina Abu Bakar menghimpun al-Qur’an, Sayyidina Umar menginstruksikan shalat tarawih
secara berjamaah, dan Sayyidina Utsman menambah adzan Jum’at menjadi dua kali, serta beragam bid’ah hasanah lainnya yang diterangkan dalam kitab-kitab hadits. Dalam hal ini tak seorang pun dari kalangan sahabat yang
menolak hal-hal baru tersebut dengan alasan ayat 3 surat al-Maidah tadi.

Jadi, ayat yang Anda sebutkan tidak ada kaitannya dengan bid’ah hasanah. Justru bid’ah hasanah masuk dalam kesempurnaan
agama, karena dalil-dalilnya terdapat dalam sekian banyak hadits Rasul shallallahu alaihi wa
sallam dan perilaku para sahabat.”

Tanya:
Hadits Jarir bin Abdullah al-Bajali, tidak tepat
dijadikan dalil bid’ah hasanah.Karena hadits tersebut jelas membicarakan sunnah Rasul
shallallahu alaihi wa sallam. Bukankah redaksinya berbunyi,man sanna fil Islaam sunnatan
hasanatan. Di samping itu, hadits tersebut mempunyai latar belakang, yaitu anjuran sedekah.
Dan sudah maklum bahwa sedekah memang ada
tuntunannya dalam al-Qur’an dan Sunnah. Jadi hadits yang dijadikan dalil bid’ah hasanah
tidak proporsional.”

Jawab:
“Untuk memahami hadits Jarir bin Abdullah al-Bajali tersebut kita harus berpikir jernih dan teliti.

Pertama, kita harus tahu bahwa yang dimaksud dengan sunnah dalam teks hadits tersebut adalah sunnah secara lughawi (bahasa).
Secara bahasa, sunnah diartikan dengan al-thariqah mardhiyyatan kanat au ghaira mardhiyyah (perilaku dan perbuatan, baik perbuatan yang diridhai atau pun tidak).

Sunnah dalam teks hadits tersebut tidak bisa dimaksudkan dengan Sunnah dalam istilah ilmu
hadits, yaitu ma ja’a ‘aninnabiy shallallahu alaihi wa sallam min qaulin au fi’lin au taqrir (segala sesuatu yang datang dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, baik berupa ucapan, perbuatan
maupun pengakuan). Sunnah dengan definisi terminologis ahli hadits seperti ini, berkembang
setelah abad kedua Hijriah.

Seandainya, Sunnah dalam teks hadits Jarir bin Abdullah al-Bajali tersebut dimaksudkan dengan
Sunnah Rasul shallallahu alaihi wa sallam dalam terminologi ahli hadits, maka pengertian hadits
tersebut akan menjadi kabur dan rancu. Coba kita amati, dalam teks hadits tersebut ada dua
kalimat yang belawanan, pertama kalimat man sanna sunnatan hasanatan. Dan kedua,kalimat berikutnya yang berbunyi man sanna sunnatan sayyi’atan.

Nah, kalau kosa kata Sunnah dalam teks hadits tersebut kita maksudkan pada Sunnah Rasul
shallallahu alaihi wa sallam dalam terminologi ahli hadits tadi, maka akan melahirkan sebuah pengertian bahwa Sunnah Rasul shallallahu alaihi wa sallam itu ada yang hasanah (baik) dan
ada yang sayyi’ah (jelek). Tentu saja ini pengertian sangat keliru.

Oleh karena itu, para ulama seperti al-Imam al-Nawawi menegaskan, bahwa hadits man sanna fil islam sunnatan hasanatan, membatasi
jangkauan makna hadits kullu bid’atin dhalalah, karena makna haditsnya sangat jelas, tidak
perlu disangsikan. Selanjutnya, alasan bahwa konteks yang menjadi latar belakang (asbab al-wurud) hadits tersebut berkaitan dengan
anjuran sedekah, maka alasan ini sangat lemah sekali.

Bukankah dalam ilmu Ushul Fiqih telah kita kenal kaedah, al-’ibrah bi ’umum al-lafzhi la bi-khusush al-sabab,(peninjauan dalam makna suatu teks itu tergantung pada keumuman kalimat, bukan melihat pada konteksnya yang khusus).”

Tanya:
Menurut al-Imam Ibn Rajab, bid’ah hasanah itu tidak ada. Yang namanya bid’ah itu pasti sesat. Jawab:
“Maaf, Anda salah dalam mengutip pendapat
al-Imam Ibn Rajab al-Hanbali.Justru al-Imam Ibn Rajab itu mengakui bid’ah hasanah. Hanya saja beliau tidak mau menamakan bid’ah hasanah dengan bid’ah, tetapi beliau namakan Sunnah. Jadi hanya perbedaan istilah saja.

Sebagai bukti, bahwa Ibn Rajab menerima bid’ah hasanah, dalam kitabnya, Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam fi Syarth Khamsin Haditsan min
Jamawi’ al-Kalim, beliau mengutip pernyataan al-Imam al-Syafi’i yang membagi bid’ah menjadi dua. Dan seandainya al- Imam Ibn Rajab memang berpendapat seperti yang dikatakan, kita tidak akan mengikuti beliau, tetapi kami akan mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabat yang mengakui adanya bid’ah hasanah.”

Tanya:
Dalil-dalil yang Anda ajukan dari Khulafaur Rasyidin, seperti dari Khalifah Umar, Utsman dan Ali, itu tidak bisa dijadikan dalil bid’ah hasanah. Karena mereka termasuk Khulafaur Rasyidin. Dan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah memerintahkan kita mengikuti Khulafaur Rasyidin, dalam hadits ‘alaikum bisunnati wa sunnatil khulafair rasyidin al mahdiyyin (ikutilah sunnahku dan sunnah Khulafaur
Rasyidin yang memperoleh petunjuk).

Dengan demikian, apa yang mereka lakukan sebenarnya termasuk Sunnah berdasarkan hadits ini.”

Jawab:
Sebenarnya yang tidak mengikuti Khulafaur
Rasyidin itu orang yang menolak bid’ah hasanah seperti yang suka menuduh ahli bidah sayyiah.Karena Khulafaur Rasyidin sendiri melakukan bid’ah
hasanah. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan kita mengikuti Khufaur Rasyidin.
Sementara Khulafaur Rasyidin melakukan bid’ah hasanah.

Berarti Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan kita melakukan bid’ah hasanah.
Dengan demikian yang berpendapat dengan adanya bid’ah hasanah itu sebenarnya mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan Khulafaur Rasyidin. Oleh karena itu, mari kita ikuti Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan Khulafaur Rasyidin dengan melakukan
bid’ah hasanah sebanyak-banyaknya.”

Tanya:
Kalau Anda mengatakan bahwa hadits kullu bid’atin dhalalah maknanya terbatas dengan artian bahwa sebagian bid’ah itu sesat, bukan
semua bid’ah, lalu apakah Anda akan mengartikan teks berikutnya, yang berbunyi wa
kullu dhalalatin finnar, dengan pengertian yang sama, bahwa sebagian kesesatan itu masuk
neraka, bukan semuanya. Apakah antum berani mengartikan demikian?”

Jawab:
Dalam mengartikan atau membatasi jangkauan makna suatu ayat atau hadits, kita tidak boleh
mengikuti hawa nafsu. Akan tetapi kita harus mengikuti al-Qur’an dan Sunnah pula. Para
ulama mengartikan teks hadits kullu bid’atin dhalalah dengan arti sebagian besar bid’ah itu
sesat, karena ada sekian banyak hadits yang menuntut demikian.

Sedangkan berkaitan teks berikutnya, wa kullu dhalalatin finnar (setiap kesesatan itu di
neraka), di sini kami tegaskan, bahwa selama kami tidak menemukan dalil-dalil yang
membatasi jangkauan maknanya, maka kami akan tetap berpegang pada keumumannya.
Jadi makna seluruh atau sebagian dalam sebuah teks itu tergantung dalil. Yang namanya
dalil, ya al-Qur’an dan Sunnah.Jadi membatasi jangkauan makna dalil, dengan dalil pula,
bukan dengan hawa nafsu.”

Tanya :
Bagaimanakah Arti hadist Kullu bid'atin dholalah yang artinya
: Semua bid’ah sesat. Padahal keterangan di atas,ada yang
hasanah (bagus) ada yang sayyiah
(buruk ).
Jawab :
Perlu kita maklumi bersama ,bahwa menurut ilmu mantiq :
*. Lafadz KULLU yang mengandung arti “tiap-
tiap” disebut kullu kulliyah.
*. Lafadz KULLU yang yang mengandung Arti
“sebagian “ di sebut kullu kulliy
Tanya :
Bagaimana contohnya ?
Jawab :
Contoh firman Allah yang mengandung arti “tiap-tiap” (kullu
kulliyah) “Kullu nafsin dzaiqotul maut” “
Artinya :Tiap-tiap orang merasakan
mati.”

Contoh firman Allah yang mengandung
arti “sebagian” (kullu kulliy) ……yang artinya : Dan telah kami jadikan dari
air sebagian makhluk yang hidup.”
Kalau “kulla syain disini di artikan
“tiap-tiap segala sesuatu maka
bertentangan dengan kenyataan,bahwa ada
makhluk hidup yang di jadikan oleh Allah
tidak dari air.Seperti malaikat dari
cahaya dan jin dari Api.
Firman Allah swt :“
Dan tuhan telah menjadikan semua jin
dari sebuah api.”
Jadi jelasnya “kullu” itu mengandung
dua Arti ; adakalanya “tiap-tiap”,dan
adakalanya “sebagian”.

Tanya :
Bagaimanakah maksud dari pada hadist Nabi saw yang artinya : “Jika ada soal – soal
agamamu ,serahkanlah ia kepadaku.Jika
ada soal – soal duniamu maka kamu
akan mengetahui akan soal – soal
duniamu itu.”
Jawab :
Sasaran dari hadist di atas sebenarnya bukan mengenai “Bid’ah”
melainkan mengenai “Hukum” dan
“tekhnik”
CONTOH :
Hukum membangun Masjid/madrasah adalah urusan Agama.Harus di kembalikan kepada Nabi saw.Artinya harus bersumber dari Al-Qur’an dan Assunnah.Sedangkan tekhnik pembangunanya adalah urusan dunia.dan ini di serahkan kepada umat,terserah menurut peradaban manusia/perkembangan zaman.

Tanya :
Sebagian golongan yang ingkar pada faham Ahli sunnah wal jama’ah
menganggap,ibadat itu hanya ada satu
macam dan harus dari Nabi saw.
Betulkah itu?
Jawab :
Yang benar ‘badat itu ada dua macam :
a. Ibadat muqayyadah ( ibadah yang terkait ) Seperti :
- Sholat wajib lima waktu
- Zakat wajib
- Puasa ramadhan
- Haji dsb…
Ibadat – ibadat ini mempunyai keasliannya dari Nabi dalam segala – galanya,Hukumnya,tekhnik
pelaksanaanya ,waktu dan bentuknya .Kesemuanya di ikat (muqayyad) menurut aturan tertentu tidak boleh di rubah.
b. Ibadat Muthlaqah (ibadah yang tidak terikat secara menyeluruh )
seperti :
- Dzikir
- Tafakkur
- Membaca Al-Qur’an
- Belajar/mengajar ilmu agama,
- Birrul waalidain (berbakti kepada ayah dan ibu) dll
Ibadat – ibadat ini mempunyai keaslianya dari Nabi dalam beberapa hal.Sedang mengenai bentuk dan tekhnik pelaksanaanya tidak di ikat dengan aturan-aturan tertentu,terserah kepada ummat,asal tidak melanggar pokok – pokok Syariat islam.

Kadang-kadang pada ibadat muthlaqah inilah terjadi bid’ah hasanah.Demikian menurut faham Ahli sunnah wal jama’ah.

KESIMPULAN :

Untuk menyimpulkan keterangan di
atas ,kami nuqilkan fatwa Imam

Muhammad Bin Idris Asyafi’i yang di
riwayatkan oleh Abu Nu’aim. Yang artinya : “Bid’ah itu ada dua
macam ,Bid’ah yang terpuji dan yang
tercela.Maka mana saja yang sesuai
Assunnah ,maka itulah yang
terpuji.Dan mana saja yang
bertentangan/menyalahi Assunnah,maka itulah yang tercela.”

Alhadidy dalam syarah ilmu balaghah
menyebutkan Yang artinya :
“Lafadz Bid’ah di pakai untuk dua pengertian.
Pertama ialah sesuatu yang di persalahkan denganya akan Al- Qur’an dan Alhadist ,Seperti berpuasa di hari nahar atau dihari tasyriq karena pada hari-hari itu,walaupun namanya puasa,tetapi itu termasuk sesuatu yang di larang.

Yang kedua sesuatu yang tidak datang padanya Nash,bahkan mendiamkannya,maka hal- hal tersebut di lakukan oleh orang- orang islam sesudah Nabi saw.wafat.Dan apa yang di riwayatkan dari sabda Rasulullah saw.”tiap-tiap yang sesat itu dalam neraka”.Maka tafsiranya di tanggungkan pada pengertian yang pertama,

sedang ucapan sayyidina umar ra.dalam hal mengumpulka dalam solat tarowih : Sesungguhnya dia itu bid’ah dan sebaik-baik bid’ah itu ,inilah…. di tanggungkan atas tafsir bid’ah menurut pengrtian yang kedua.”

Albaihaqi meriwayatkan dalam manaqibnya : ًYang artinya. “Ciptaan-ciptaan baru itu ada dua macam.sesuatu yang bertentangan/ menyalahi Al-Quran/Assunnah,Atsar/ Ijma’,maka inilah bid’ah yang sesat.Sedang yang terdiri dari kebaikan,yang tidak bertentangan dengan Al-qur’an/Assunnah/ ijma’.Maka inilah bid’ah yang tidak tercela.”

Tanya :
Kalau begitu bagaimana mengikuti faham Ahli Sunnah wal
jamaah itu?
Jawab :
Mengikutinya hukumnya wajib.
Dalam Almajalisus saniyah,halaman 88 disebutkan sbb :Yang artinya : “Di dalam kitabnya “ ALGHUNIYAH “ Syekh Abdul qodir Aljailaniy berkata : Wajiblah atas orang mukmin,mengikuti Assunnah dan Aljamaah.Maka arti yang Assunnah yaitu sesuatu yang di contohkan oleh Rasulullah saw.Sedangkan Aljamaah,yaitu sesuatu yang sudah sepakat atasnya para sahabat ra seluruhnya,pada masa khilafah imam-imam empat,Khalifah lurus lagi terpimpin RADHIYALLAHUANHUM

Begitulah cara para ulama salafus shalihin dalam memahami makna dari sebuah hadist.karna hadist Nabi di sajikan dalam bentuk bahasa arab,tentunya perlu berbagai disiplin ilmu untuk memahaminya.Tidak bisa langsung di fahami secara serampangan dengan cuma mengartikan makna textnya saja.

Semoga kita di beri Alloh hidayah.Supaya kita bisa betul betul bisa memahami hadist hadist beliau dan mengikutinya dengan benar.
Amiin......

Tanya Jawab Seputar Bid'ah & Pengertian dari Hadist Kullu Bid'atin Dholalah




MEMAHAMI KALIMAT: “KULLU BIDH’ATIN DHOLALAH; SETIAP BID’AH ADALAH SESAT”
Bagaimana definisi bid'ah menurut Ahlussunnah waljama'ah:
Jawab:
1. Bid’ah Syar’iyyah, yaitu tiap-tiap ucapan,perbuatan atau i’tiqad yang
bertentangan dengan Alkitab (Al-
Qur’an), Assunnah (hadist Nabi
saw),Alijma’ Alqiyas
2. Bid’ah Lughawiyyah, yaitu segala sesuatu yang di ciptakan / belum
terjadi di jaman Rasulullah

Tanya :
Betulkah semua bid’ah itu
sesat? Dan bagaimana menurut faham
Ahlu sunnah waljama’ah?
Jawab :
Menurut faham Ahlu sunnah waljama’ah itu bid’ah ada dua macam, yaitu :

a. Bid’ah hasanah (Bid’ah yang baik / bagus) Sebagaimana yang terjadi di jaman Kholifah Umar Bin Khoththob “tarowih” para sahabat Nabi di masjid Nabawiy (Madinah) yang di lakukan terus menerus dengan berjamaah”.
Dalam menanggapi masalah ini Kholifah Umar Bin Khoththob berkata :
Yang artinya . “Sebaik baik bid’ah adalah ini ( yakni
sholat tarowih yang di kerjakan dengan
berjamaah berturu-turut )”

Jadi istilah Bid’ah hasanah ini di ambil dari sabda kholifah Umar tersebut di atas. Tak seorang sahabatpun yang menentang/menyalahkan sabda Kholifah Umar ini.Tegasnya semua berij’ma atas kebenaranya. Jadi landasan/sumber istilah” Bid’ah hasanah”tersebut adalah hasil mufakat (ijma’) para sahabat dari sunnah qouliyah Nabi yang artinya Hendaknya kalian berpegang teguh
dengan sunnahku dan sunnah khulafaur
rasyidin sesudahku………
Yang artinya . Ikutilah orang-orang sesudahku,Abu
Bakar dan Umar

Tanya :
Mengapa Kholifah Umar maupun Ulama Ahli sunnah waljama’ah mengatakan bid’ah hasanah? Jawab :
Ya,sebab arti bid’ah secara lughawi yaitu segala sesuatu yang belum pernah terjadi di zaman rasulullah saw. Dan di hukumi hasanah / bagus menurut syara’,karena perbuatan itu menurut dalil-dalil umum syara’ bisa di landasi kebenaranya.

Tanya :
Sekarang Kita teruskan tentang apa bid’ah Sayyiah itu? Jawab : Bid’ah Sayyiah (Bid’ah yang buruk)
Istilah ini sumbernya adalah Hadist Yang artinya Berhati – hatilah kalian /kalian jangan
mengada- adakan ciptakan baru
sesungguhnya sebagian bid’ah (ciptaan
baru) itu kesesatan.” Dari ummil mu’minin /Ummi
abdillah /’aisyah ra.beliau berkata :

Sabda Rasulullah saw Yang artinya “Barang siapa mengada-adakan hal
baru dalam agama yang bukan dari
agama kami,maka hal itu di tolak
(bathil)”
Jadi seumpama kita mengerjakan sholat subuh empat rakaat atau salat jenazah dengan rukuk dan sujud atau mengerjakan Jum’ah sebelum khotbah,atau sholat ‘id(hari raya) dengan mendahulukan khutbah dll.itu memang di tolak,sebab yang demikian itu memang tidak ada sumbernya dari agama.

Adapun yang ada sumbernya dari
agama seperti tarowih 20 rokaat
adzan jum’ah dua kali dll,tidaklah
termasuk yang di tolak.

Tanya :
Sebagian golongan ada yang mengatakan bahwa segala sesuatu yang belum pernah terjadi pada zaman Nabi saw, itu di hukumi bid’ah.Betulkah itu?
Jawab :
Memang menurut istilah Lughowinya betul pendapat ini. Tetapi bid’ah yang ini terbagi menjadi lima macam :
a. Bid’ah wajibah ‘alal kifayah
Misalnya mempelajari ilmu – ilmu bahasa arab sebagai memahami Al- Qur’an dan Alhadist
b. Bid’ah muharromah
Misalnya seperti i’tiqad dan hal ihwal Ahli bid’ah yang bertentangan dengan tariqat Ahli
sunnah wal jama’ah.
c. Bid’ah mandubah
Yaitu seperti perbuatan-perbuatan yang baik yang tidak terjadi pada zaman Rasulullah saw.seperti mendirikan madrasah- madrasah untuk memudahkan cara- cara memberikan pelajaran agama para murid.
d. Bid’ah Makruhah
Misalnya seperti menghias masjid dengan hiasan berlebih-lebihan.
e. Bid’ah Mustahabaah
Seperti bermewah-mewahan dalam makan dan minum.

Tanya:
Dalam surat
al-Maidah, ayat 3 disebutkan:
“Pada hari ini aku sempurnakan bagimu agamamu dan aku sempurnakan bagimu nikmat-Ku.” (QS. al-Maidah : 3)”
Bukankah ayat di atas menegaskan bahwa Islam telah sempurna. Dengan demikian, orang yang melakukan bid’ah hasanah berarti berasumsi
bahwa Islam belum sempurna,sehingga masih perlu disempurnakan dengan bid’ah hasanah.”
Jawab:
“Ayat 3 dalam surat al-Maidah yang disebutkan tidak berkaitan dengan bid’ah hasanah. Karena yang dimaksud dengan penyempurnaan
agama dalam ayat tersebut, seperti dikatakan oleh para ulama tafsir, adalah bahwa Allah
subhanahu wa ta’ala telah menyempurnakan kaedah-kaedah agama.

Seandainya yang dimaksud dengan ayat tersebut, tidak boleh melakukan bid’ah hasanah, tentu saja para sahabat sepeninggal Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam tidak akan melakukan bid’ah hasanah.
Sayidina Abu Bakar menghimpun al-Qur’an, Sayyidina Umar menginstruksikan shalat tarawih
secara berjamaah, dan Sayyidina Utsman menambah adzan Jum’at menjadi dua kali, serta beragam bid’ah hasanah lainnya yang diterangkan dalam kitab-kitab hadits. Dalam hal ini tak seorang pun dari kalangan sahabat yang
menolak hal-hal baru tersebut dengan alasan ayat 3 surat al-Maidah tadi.

Jadi, ayat yang Anda sebutkan tidak ada kaitannya dengan bid’ah hasanah. Justru bid’ah hasanah masuk dalam kesempurnaan
agama, karena dalil-dalilnya terdapat dalam sekian banyak hadits Rasul shallallahu alaihi wa
sallam dan perilaku para sahabat.”

Tanya:
Hadits Jarir bin Abdullah al-Bajali, tidak tepat
dijadikan dalil bid’ah hasanah.Karena hadits tersebut jelas membicarakan sunnah Rasul
shallallahu alaihi wa sallam. Bukankah redaksinya berbunyi,man sanna fil Islaam sunnatan
hasanatan. Di samping itu, hadits tersebut mempunyai latar belakang, yaitu anjuran sedekah.
Dan sudah maklum bahwa sedekah memang ada
tuntunannya dalam al-Qur’an dan Sunnah. Jadi hadits yang dijadikan dalil bid’ah hasanah
tidak proporsional.”

Jawab:
“Untuk memahami hadits Jarir bin Abdullah al-Bajali tersebut kita harus berpikir jernih dan teliti.

Pertama, kita harus tahu bahwa yang dimaksud dengan sunnah dalam teks hadits tersebut adalah sunnah secara lughawi (bahasa).
Secara bahasa, sunnah diartikan dengan al-thariqah mardhiyyatan kanat au ghaira mardhiyyah (perilaku dan perbuatan, baik perbuatan yang diridhai atau pun tidak).

Sunnah dalam teks hadits tersebut tidak bisa dimaksudkan dengan Sunnah dalam istilah ilmu
hadits, yaitu ma ja’a ‘aninnabiy shallallahu alaihi wa sallam min qaulin au fi’lin au taqrir (segala sesuatu yang datang dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, baik berupa ucapan, perbuatan
maupun pengakuan). Sunnah dengan definisi terminologis ahli hadits seperti ini, berkembang
setelah abad kedua Hijriah.

Seandainya, Sunnah dalam teks hadits Jarir bin Abdullah al-Bajali tersebut dimaksudkan dengan
Sunnah Rasul shallallahu alaihi wa sallam dalam terminologi ahli hadits, maka pengertian hadits
tersebut akan menjadi kabur dan rancu. Coba kita amati, dalam teks hadits tersebut ada dua
kalimat yang belawanan, pertama kalimat man sanna sunnatan hasanatan. Dan kedua,kalimat berikutnya yang berbunyi man sanna sunnatan sayyi’atan.

Nah, kalau kosa kata Sunnah dalam teks hadits tersebut kita maksudkan pada Sunnah Rasul
shallallahu alaihi wa sallam dalam terminologi ahli hadits tadi, maka akan melahirkan sebuah pengertian bahwa Sunnah Rasul shallallahu alaihi wa sallam itu ada yang hasanah (baik) dan
ada yang sayyi’ah (jelek). Tentu saja ini pengertian sangat keliru.

Oleh karena itu, para ulama seperti al-Imam al-Nawawi menegaskan, bahwa hadits man sanna fil islam sunnatan hasanatan, membatasi
jangkauan makna hadits kullu bid’atin dhalalah, karena makna haditsnya sangat jelas, tidak
perlu disangsikan. Selanjutnya, alasan bahwa konteks yang menjadi latar belakang (asbab al-wurud) hadits tersebut berkaitan dengan
anjuran sedekah, maka alasan ini sangat lemah sekali.

Bukankah dalam ilmu Ushul Fiqih telah kita kenal kaedah, al-’ibrah bi ’umum al-lafzhi la bi-khusush al-sabab,(peninjauan dalam makna suatu teks itu tergantung pada keumuman kalimat, bukan melihat pada konteksnya yang khusus).”

Tanya:
Menurut al-Imam Ibn Rajab, bid’ah hasanah itu tidak ada. Yang namanya bid’ah itu pasti sesat. Jawab:
“Maaf, Anda salah dalam mengutip pendapat
al-Imam Ibn Rajab al-Hanbali.Justru al-Imam Ibn Rajab itu mengakui bid’ah hasanah. Hanya saja beliau tidak mau menamakan bid’ah hasanah dengan bid’ah, tetapi beliau namakan Sunnah. Jadi hanya perbedaan istilah saja.

Sebagai bukti, bahwa Ibn Rajab menerima bid’ah hasanah, dalam kitabnya, Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam fi Syarth Khamsin Haditsan min
Jamawi’ al-Kalim, beliau mengutip pernyataan al-Imam al-Syafi’i yang membagi bid’ah menjadi dua. Dan seandainya al- Imam Ibn Rajab memang berpendapat seperti yang dikatakan, kita tidak akan mengikuti beliau, tetapi kami akan mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabat yang mengakui adanya bid’ah hasanah.”

Tanya:
Dalil-dalil yang Anda ajukan dari Khulafaur Rasyidin, seperti dari Khalifah Umar, Utsman dan Ali, itu tidak bisa dijadikan dalil bid’ah hasanah. Karena mereka termasuk Khulafaur Rasyidin. Dan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah memerintahkan kita mengikuti Khulafaur Rasyidin, dalam hadits ‘alaikum bisunnati wa sunnatil khulafair rasyidin al mahdiyyin (ikutilah sunnahku dan sunnah Khulafaur
Rasyidin yang memperoleh petunjuk).

Dengan demikian, apa yang mereka lakukan sebenarnya termasuk Sunnah berdasarkan hadits ini.”

Jawab:
Sebenarnya yang tidak mengikuti Khulafaur
Rasyidin itu orang yang menolak bid’ah hasanah seperti yang suka menuduh ahli bidah sayyiah.Karena Khulafaur Rasyidin sendiri melakukan bid’ah
hasanah. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan kita mengikuti Khufaur Rasyidin.
Sementara Khulafaur Rasyidin melakukan bid’ah hasanah.

Berarti Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan kita melakukan bid’ah hasanah.
Dengan demikian yang berpendapat dengan adanya bid’ah hasanah itu sebenarnya mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan Khulafaur Rasyidin. Oleh karena itu, mari kita ikuti Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan Khulafaur Rasyidin dengan melakukan
bid’ah hasanah sebanyak-banyaknya.”

Tanya:
Kalau Anda mengatakan bahwa hadits kullu bid’atin dhalalah maknanya terbatas dengan artian bahwa sebagian bid’ah itu sesat, bukan
semua bid’ah, lalu apakah Anda akan mengartikan teks berikutnya, yang berbunyi wa
kullu dhalalatin finnar, dengan pengertian yang sama, bahwa sebagian kesesatan itu masuk
neraka, bukan semuanya. Apakah antum berani mengartikan demikian?”

Jawab:
Dalam mengartikan atau membatasi jangkauan makna suatu ayat atau hadits, kita tidak boleh
mengikuti hawa nafsu. Akan tetapi kita harus mengikuti al-Qur’an dan Sunnah pula. Para
ulama mengartikan teks hadits kullu bid’atin dhalalah dengan arti sebagian besar bid’ah itu
sesat, karena ada sekian banyak hadits yang menuntut demikian.

Sedangkan berkaitan teks berikutnya, wa kullu dhalalatin finnar (setiap kesesatan itu di
neraka), di sini kami tegaskan, bahwa selama kami tidak menemukan dalil-dalil yang
membatasi jangkauan maknanya, maka kami akan tetap berpegang pada keumumannya.
Jadi makna seluruh atau sebagian dalam sebuah teks itu tergantung dalil. Yang namanya
dalil, ya al-Qur’an dan Sunnah.Jadi membatasi jangkauan makna dalil, dengan dalil pula,
bukan dengan hawa nafsu.”

Tanya :
Bagaimanakah Arti hadist Kullu bid'atin dholalah yang artinya
: Semua bid’ah sesat. Padahal keterangan di atas,ada yang
hasanah (bagus) ada yang sayyiah
(buruk ).
Jawab :
Perlu kita maklumi bersama ,bahwa menurut ilmu mantiq :
*. Lafadz KULLU yang mengandung arti “tiap-
tiap” disebut kullu kulliyah.
*. Lafadz KULLU yang yang mengandung Arti
“sebagian “ di sebut kullu kulliy
Tanya :
Bagaimana contohnya ?
Jawab :
Contoh firman Allah yang mengandung arti “tiap-tiap” (kullu
kulliyah) “Kullu nafsin dzaiqotul maut” “
Artinya :Tiap-tiap orang merasakan
mati.”

Contoh firman Allah yang mengandung
arti “sebagian” (kullu kulliy) ……yang artinya : Dan telah kami jadikan dari
air sebagian makhluk yang hidup.”
Kalau “kulla syain disini di artikan
“tiap-tiap segala sesuatu maka
bertentangan dengan kenyataan,bahwa ada
makhluk hidup yang di jadikan oleh Allah
tidak dari air.Seperti malaikat dari
cahaya dan jin dari Api.
Firman Allah swt :“
Dan tuhan telah menjadikan semua jin
dari sebuah api.”
Jadi jelasnya “kullu” itu mengandung
dua Arti ; adakalanya “tiap-tiap”,dan
adakalanya “sebagian”.

Tanya :
Bagaimanakah maksud dari pada hadist Nabi saw yang artinya : “Jika ada soal – soal
agamamu ,serahkanlah ia kepadaku.Jika
ada soal – soal duniamu maka kamu
akan mengetahui akan soal – soal
duniamu itu.”
Jawab :
Sasaran dari hadist di atas sebenarnya bukan mengenai “Bid’ah”
melainkan mengenai “Hukum” dan
“tekhnik”
CONTOH :
Hukum membangun Masjid/madrasah adalah urusan Agama.Harus di kembalikan kepada Nabi saw.Artinya harus bersumber dari Al-Qur’an dan Assunnah.Sedangkan tekhnik pembangunanya adalah urusan dunia.dan ini di serahkan kepada umat,terserah menurut peradaban manusia/perkembangan zaman.

Tanya :
Sebagian golongan yang ingkar pada faham Ahli sunnah wal jama’ah
menganggap,ibadat itu hanya ada satu
macam dan harus dari Nabi saw.
Betulkah itu?
Jawab :
Yang benar ‘badat itu ada dua macam :
a. Ibadat muqayyadah ( ibadah yang terkait ) Seperti :
- Sholat wajib lima waktu
- Zakat wajib
- Puasa ramadhan
- Haji dsb…
Ibadat – ibadat ini mempunyai keasliannya dari Nabi dalam segala – galanya,Hukumnya,tekhnik
pelaksanaanya ,waktu dan bentuknya .Kesemuanya di ikat (muqayyad) menurut aturan tertentu tidak boleh di rubah.
b. Ibadat Muthlaqah (ibadah yang tidak terikat secara menyeluruh )
seperti :
- Dzikir
- Tafakkur
- Membaca Al-Qur’an
- Belajar/mengajar ilmu agama,
- Birrul waalidain (berbakti kepada ayah dan ibu) dll
Ibadat – ibadat ini mempunyai keaslianya dari Nabi dalam beberapa hal.Sedang mengenai bentuk dan tekhnik pelaksanaanya tidak di ikat dengan aturan-aturan tertentu,terserah kepada ummat,asal tidak melanggar pokok – pokok Syariat islam.

Kadang-kadang pada ibadat muthlaqah inilah terjadi bid’ah hasanah.Demikian menurut faham Ahli sunnah wal jama’ah.

KESIMPULAN :

Untuk menyimpulkan keterangan di
atas ,kami nuqilkan fatwa Imam

Muhammad Bin Idris Asyafi’i yang di
riwayatkan oleh Abu Nu’aim. Yang artinya : “Bid’ah itu ada dua
macam ,Bid’ah yang terpuji dan yang
tercela.Maka mana saja yang sesuai
Assunnah ,maka itulah yang
terpuji.Dan mana saja yang
bertentangan/menyalahi Assunnah,maka itulah yang tercela.”

Alhadidy dalam syarah ilmu balaghah
menyebutkan Yang artinya :
“Lafadz Bid’ah di pakai untuk dua pengertian.
Pertama ialah sesuatu yang di persalahkan denganya akan Al- Qur’an dan Alhadist ,Seperti berpuasa di hari nahar atau dihari tasyriq karena pada hari-hari itu,walaupun namanya puasa,tetapi itu termasuk sesuatu yang di larang.

Yang kedua sesuatu yang tidak datang padanya Nash,bahkan mendiamkannya,maka hal- hal tersebut di lakukan oleh orang- orang islam sesudah Nabi saw.wafat.Dan apa yang di riwayatkan dari sabda Rasulullah saw.”tiap-tiap yang sesat itu dalam neraka”.Maka tafsiranya di tanggungkan pada pengertian yang pertama,

sedang ucapan sayyidina umar ra.dalam hal mengumpulka dalam solat tarowih : Sesungguhnya dia itu bid’ah dan sebaik-baik bid’ah itu ,inilah…. di tanggungkan atas tafsir bid’ah menurut pengrtian yang kedua.”

Albaihaqi meriwayatkan dalam manaqibnya : ًYang artinya. “Ciptaan-ciptaan baru itu ada dua macam.sesuatu yang bertentangan/ menyalahi Al-Quran/Assunnah,Atsar/ Ijma’,maka inilah bid’ah yang sesat.Sedang yang terdiri dari kebaikan,yang tidak bertentangan dengan Al-qur’an/Assunnah/ ijma’.Maka inilah bid’ah yang tidak tercela.”

Tanya :
Kalau begitu bagaimana mengikuti faham Ahli Sunnah wal
jamaah itu?
Jawab :
Mengikutinya hukumnya wajib.
Dalam Almajalisus saniyah,halaman 88 disebutkan sbb :Yang artinya : “Di dalam kitabnya “ ALGHUNIYAH “ Syekh Abdul qodir Aljailaniy berkata : Wajiblah atas orang mukmin,mengikuti Assunnah dan Aljamaah.Maka arti yang Assunnah yaitu sesuatu yang di contohkan oleh Rasulullah saw.Sedangkan Aljamaah,yaitu sesuatu yang sudah sepakat atasnya para sahabat ra seluruhnya,pada masa khilafah imam-imam empat,Khalifah lurus lagi terpimpin RADHIYALLAHUANHUM

Begitulah cara para ulama salafus shalihin dalam memahami makna dari sebuah hadist.karna hadist Nabi di sajikan dalam bentuk bahasa arab,tentunya perlu berbagai disiplin ilmu untuk memahaminya.Tidak bisa langsung di fahami secara serampangan dengan cuma mengartikan makna textnya saja.

Semoga kita di beri Alloh hidayah.Supaya kita bisa betul betul bisa memahami hadist hadist beliau dan mengikutinya dengan benar.
Amiin......



MEMAHAMI KALIMAT: “KULLU BIDH’ATIN DHOLALAH; SETIAP BID’AH ADALAH SESAT”
Bagaimana definisi bid'ah menurut Ahlussunnah waljama'ah:
Jawab:
1. Bid’ah Syar’iyyah, yaitu tiap-tiap ucapan,perbuatan atau i’tiqad yang
bertentangan dengan Alkitab (Al-
Qur’an), Assunnah (hadist Nabi
saw),Alijma’ Alqiyas
2. Bid’ah Lughawiyyah, yaitu segala sesuatu yang di ciptakan / belum
terjadi di jaman Rasulullah

Tanya :
Betulkah semua bid’ah itu
sesat? Dan bagaimana menurut faham
Ahlu sunnah waljama’ah?
Jawab :
Menurut faham Ahlu sunnah waljama’ah itu bid’ah ada dua macam, yaitu :

a. Bid’ah hasanah (Bid’ah yang baik / bagus) Sebagaimana yang terjadi di jaman Kholifah Umar Bin Khoththob “tarowih” para sahabat Nabi di masjid Nabawiy (Madinah) yang di lakukan terus menerus dengan berjamaah”.
Dalam menanggapi masalah ini Kholifah Umar Bin Khoththob berkata :
Yang artinya . “Sebaik baik bid’ah adalah ini ( yakni
sholat tarowih yang di kerjakan dengan
berjamaah berturu-turut )”

Jadi istilah Bid’ah hasanah ini di ambil dari sabda kholifah Umar tersebut di atas. Tak seorang sahabatpun yang menentang/menyalahkan sabda Kholifah Umar ini.Tegasnya semua berij’ma atas kebenaranya. Jadi landasan/sumber istilah” Bid’ah hasanah”tersebut adalah hasil mufakat (ijma’) para sahabat dari sunnah qouliyah Nabi yang artinya Hendaknya kalian berpegang teguh
dengan sunnahku dan sunnah khulafaur
rasyidin sesudahku………
Yang artinya . Ikutilah orang-orang sesudahku,Abu
Bakar dan Umar

Tanya :
Mengapa Kholifah Umar maupun Ulama Ahli sunnah waljama’ah mengatakan bid’ah hasanah? Jawab :
Ya,sebab arti bid’ah secara lughawi yaitu segala sesuatu yang belum pernah terjadi di zaman rasulullah saw. Dan di hukumi hasanah / bagus menurut syara’,karena perbuatan itu menurut dalil-dalil umum syara’ bisa di landasi kebenaranya.

Tanya :
Sekarang Kita teruskan tentang apa bid’ah Sayyiah itu? Jawab : Bid’ah Sayyiah (Bid’ah yang buruk)
Istilah ini sumbernya adalah Hadist Yang artinya Berhati – hatilah kalian /kalian jangan
mengada- adakan ciptakan baru
sesungguhnya sebagian bid’ah (ciptaan
baru) itu kesesatan.” Dari ummil mu’minin /Ummi
abdillah /’aisyah ra.beliau berkata :

Sabda Rasulullah saw Yang artinya “Barang siapa mengada-adakan hal
baru dalam agama yang bukan dari
agama kami,maka hal itu di tolak
(bathil)”
Jadi seumpama kita mengerjakan sholat subuh empat rakaat atau salat jenazah dengan rukuk dan sujud atau mengerjakan Jum’ah sebelum khotbah,atau sholat ‘id(hari raya) dengan mendahulukan khutbah dll.itu memang di tolak,sebab yang demikian itu memang tidak ada sumbernya dari agama.

Adapun yang ada sumbernya dari
agama seperti tarowih 20 rokaat
adzan jum’ah dua kali dll,tidaklah
termasuk yang di tolak.

Tanya :
Sebagian golongan ada yang mengatakan bahwa segala sesuatu yang belum pernah terjadi pada zaman Nabi saw, itu di hukumi bid’ah.Betulkah itu?
Jawab :
Memang menurut istilah Lughowinya betul pendapat ini. Tetapi bid’ah yang ini terbagi menjadi lima macam :
a. Bid’ah wajibah ‘alal kifayah
Misalnya mempelajari ilmu – ilmu bahasa arab sebagai memahami Al- Qur’an dan Alhadist
b. Bid’ah muharromah
Misalnya seperti i’tiqad dan hal ihwal Ahli bid’ah yang bertentangan dengan tariqat Ahli
sunnah wal jama’ah.
c. Bid’ah mandubah
Yaitu seperti perbuatan-perbuatan yang baik yang tidak terjadi pada zaman Rasulullah saw.seperti mendirikan madrasah- madrasah untuk memudahkan cara- cara memberikan pelajaran agama para murid.
d. Bid’ah Makruhah
Misalnya seperti menghias masjid dengan hiasan berlebih-lebihan.
e. Bid’ah Mustahabaah
Seperti bermewah-mewahan dalam makan dan minum.

Tanya:
Dalam surat
al-Maidah, ayat 3 disebutkan:
“Pada hari ini aku sempurnakan bagimu agamamu dan aku sempurnakan bagimu nikmat-Ku.” (QS. al-Maidah : 3)”
Bukankah ayat di atas menegaskan bahwa Islam telah sempurna. Dengan demikian, orang yang melakukan bid’ah hasanah berarti berasumsi
bahwa Islam belum sempurna,sehingga masih perlu disempurnakan dengan bid’ah hasanah.”
Jawab:
“Ayat 3 dalam surat al-Maidah yang disebutkan tidak berkaitan dengan bid’ah hasanah. Karena yang dimaksud dengan penyempurnaan
agama dalam ayat tersebut, seperti dikatakan oleh para ulama tafsir, adalah bahwa Allah
subhanahu wa ta’ala telah menyempurnakan kaedah-kaedah agama.

Seandainya yang dimaksud dengan ayat tersebut, tidak boleh melakukan bid’ah hasanah, tentu saja para sahabat sepeninggal Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam tidak akan melakukan bid’ah hasanah.
Sayidina Abu Bakar menghimpun al-Qur’an, Sayyidina Umar menginstruksikan shalat tarawih
secara berjamaah, dan Sayyidina Utsman menambah adzan Jum’at menjadi dua kali, serta beragam bid’ah hasanah lainnya yang diterangkan dalam kitab-kitab hadits. Dalam hal ini tak seorang pun dari kalangan sahabat yang
menolak hal-hal baru tersebut dengan alasan ayat 3 surat al-Maidah tadi.

Jadi, ayat yang Anda sebutkan tidak ada kaitannya dengan bid’ah hasanah. Justru bid’ah hasanah masuk dalam kesempurnaan
agama, karena dalil-dalilnya terdapat dalam sekian banyak hadits Rasul shallallahu alaihi wa
sallam dan perilaku para sahabat.”

Tanya:
Hadits Jarir bin Abdullah al-Bajali, tidak tepat
dijadikan dalil bid’ah hasanah.Karena hadits tersebut jelas membicarakan sunnah Rasul
shallallahu alaihi wa sallam. Bukankah redaksinya berbunyi,man sanna fil Islaam sunnatan
hasanatan. Di samping itu, hadits tersebut mempunyai latar belakang, yaitu anjuran sedekah.
Dan sudah maklum bahwa sedekah memang ada
tuntunannya dalam al-Qur’an dan Sunnah. Jadi hadits yang dijadikan dalil bid’ah hasanah
tidak proporsional.”

Jawab:
“Untuk memahami hadits Jarir bin Abdullah al-Bajali tersebut kita harus berpikir jernih dan teliti.

Pertama, kita harus tahu bahwa yang dimaksud dengan sunnah dalam teks hadits tersebut adalah sunnah secara lughawi (bahasa).
Secara bahasa, sunnah diartikan dengan al-thariqah mardhiyyatan kanat au ghaira mardhiyyah (perilaku dan perbuatan, baik perbuatan yang diridhai atau pun tidak).

Sunnah dalam teks hadits tersebut tidak bisa dimaksudkan dengan Sunnah dalam istilah ilmu
hadits, yaitu ma ja’a ‘aninnabiy shallallahu alaihi wa sallam min qaulin au fi’lin au taqrir (segala sesuatu yang datang dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, baik berupa ucapan, perbuatan
maupun pengakuan). Sunnah dengan definisi terminologis ahli hadits seperti ini, berkembang
setelah abad kedua Hijriah.

Seandainya, Sunnah dalam teks hadits Jarir bin Abdullah al-Bajali tersebut dimaksudkan dengan
Sunnah Rasul shallallahu alaihi wa sallam dalam terminologi ahli hadits, maka pengertian hadits
tersebut akan menjadi kabur dan rancu. Coba kita amati, dalam teks hadits tersebut ada dua
kalimat yang belawanan, pertama kalimat man sanna sunnatan hasanatan. Dan kedua,kalimat berikutnya yang berbunyi man sanna sunnatan sayyi’atan.

Nah, kalau kosa kata Sunnah dalam teks hadits tersebut kita maksudkan pada Sunnah Rasul
shallallahu alaihi wa sallam dalam terminologi ahli hadits tadi, maka akan melahirkan sebuah pengertian bahwa Sunnah Rasul shallallahu alaihi wa sallam itu ada yang hasanah (baik) dan
ada yang sayyi’ah (jelek). Tentu saja ini pengertian sangat keliru.

Oleh karena itu, para ulama seperti al-Imam al-Nawawi menegaskan, bahwa hadits man sanna fil islam sunnatan hasanatan, membatasi
jangkauan makna hadits kullu bid’atin dhalalah, karena makna haditsnya sangat jelas, tidak
perlu disangsikan. Selanjutnya, alasan bahwa konteks yang menjadi latar belakang (asbab al-wurud) hadits tersebut berkaitan dengan
anjuran sedekah, maka alasan ini sangat lemah sekali.

Bukankah dalam ilmu Ushul Fiqih telah kita kenal kaedah, al-’ibrah bi ’umum al-lafzhi la bi-khusush al-sabab,(peninjauan dalam makna suatu teks itu tergantung pada keumuman kalimat, bukan melihat pada konteksnya yang khusus).”

Tanya:
Menurut al-Imam Ibn Rajab, bid’ah hasanah itu tidak ada. Yang namanya bid’ah itu pasti sesat. Jawab:
“Maaf, Anda salah dalam mengutip pendapat
al-Imam Ibn Rajab al-Hanbali.Justru al-Imam Ibn Rajab itu mengakui bid’ah hasanah. Hanya saja beliau tidak mau menamakan bid’ah hasanah dengan bid’ah, tetapi beliau namakan Sunnah. Jadi hanya perbedaan istilah saja.

Sebagai bukti, bahwa Ibn Rajab menerima bid’ah hasanah, dalam kitabnya, Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam fi Syarth Khamsin Haditsan min
Jamawi’ al-Kalim, beliau mengutip pernyataan al-Imam al-Syafi’i yang membagi bid’ah menjadi dua. Dan seandainya al- Imam Ibn Rajab memang berpendapat seperti yang dikatakan, kita tidak akan mengikuti beliau, tetapi kami akan mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabat yang mengakui adanya bid’ah hasanah.”

Tanya:
Dalil-dalil yang Anda ajukan dari Khulafaur Rasyidin, seperti dari Khalifah Umar, Utsman dan Ali, itu tidak bisa dijadikan dalil bid’ah hasanah. Karena mereka termasuk Khulafaur Rasyidin. Dan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah memerintahkan kita mengikuti Khulafaur Rasyidin, dalam hadits ‘alaikum bisunnati wa sunnatil khulafair rasyidin al mahdiyyin (ikutilah sunnahku dan sunnah Khulafaur
Rasyidin yang memperoleh petunjuk).

Dengan demikian, apa yang mereka lakukan sebenarnya termasuk Sunnah berdasarkan hadits ini.”

Jawab:
Sebenarnya yang tidak mengikuti Khulafaur
Rasyidin itu orang yang menolak bid’ah hasanah seperti yang suka menuduh ahli bidah sayyiah.Karena Khulafaur Rasyidin sendiri melakukan bid’ah
hasanah. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan kita mengikuti Khufaur Rasyidin.
Sementara Khulafaur Rasyidin melakukan bid’ah hasanah.

Berarti Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan kita melakukan bid’ah hasanah.
Dengan demikian yang berpendapat dengan adanya bid’ah hasanah itu sebenarnya mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan Khulafaur Rasyidin. Oleh karena itu, mari kita ikuti Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan Khulafaur Rasyidin dengan melakukan
bid’ah hasanah sebanyak-banyaknya.”

Tanya:
Kalau Anda mengatakan bahwa hadits kullu bid’atin dhalalah maknanya terbatas dengan artian bahwa sebagian bid’ah itu sesat, bukan
semua bid’ah, lalu apakah Anda akan mengartikan teks berikutnya, yang berbunyi wa
kullu dhalalatin finnar, dengan pengertian yang sama, bahwa sebagian kesesatan itu masuk
neraka, bukan semuanya. Apakah antum berani mengartikan demikian?”

Jawab:
Dalam mengartikan atau membatasi jangkauan makna suatu ayat atau hadits, kita tidak boleh
mengikuti hawa nafsu. Akan tetapi kita harus mengikuti al-Qur’an dan Sunnah pula. Para
ulama mengartikan teks hadits kullu bid’atin dhalalah dengan arti sebagian besar bid’ah itu
sesat, karena ada sekian banyak hadits yang menuntut demikian.

Sedangkan berkaitan teks berikutnya, wa kullu dhalalatin finnar (setiap kesesatan itu di
neraka), di sini kami tegaskan, bahwa selama kami tidak menemukan dalil-dalil yang
membatasi jangkauan maknanya, maka kami akan tetap berpegang pada keumumannya.
Jadi makna seluruh atau sebagian dalam sebuah teks itu tergantung dalil. Yang namanya
dalil, ya al-Qur’an dan Sunnah.Jadi membatasi jangkauan makna dalil, dengan dalil pula,
bukan dengan hawa nafsu.”

Tanya :
Bagaimanakah Arti hadist Kullu bid'atin dholalah yang artinya
: Semua bid’ah sesat. Padahal keterangan di atas,ada yang
hasanah (bagus) ada yang sayyiah
(buruk ).
Jawab :
Perlu kita maklumi bersama ,bahwa menurut ilmu mantiq :
*. Lafadz KULLU yang mengandung arti “tiap-
tiap” disebut kullu kulliyah.
*. Lafadz KULLU yang yang mengandung Arti
“sebagian “ di sebut kullu kulliy
Tanya :
Bagaimana contohnya ?
Jawab :
Contoh firman Allah yang mengandung arti “tiap-tiap” (kullu
kulliyah) “Kullu nafsin dzaiqotul maut” “
Artinya :Tiap-tiap orang merasakan
mati.”

Contoh firman Allah yang mengandung
arti “sebagian” (kullu kulliy) ……yang artinya : Dan telah kami jadikan dari
air sebagian makhluk yang hidup.”
Kalau “kulla syain disini di artikan
“tiap-tiap segala sesuatu maka
bertentangan dengan kenyataan,bahwa ada
makhluk hidup yang di jadikan oleh Allah
tidak dari air.Seperti malaikat dari
cahaya dan jin dari Api.
Firman Allah swt :“
Dan tuhan telah menjadikan semua jin
dari sebuah api.”
Jadi jelasnya “kullu” itu mengandung
dua Arti ; adakalanya “tiap-tiap”,dan
adakalanya “sebagian”.

Tanya :
Bagaimanakah maksud dari pada hadist Nabi saw yang artinya : “Jika ada soal – soal
agamamu ,serahkanlah ia kepadaku.Jika
ada soal – soal duniamu maka kamu
akan mengetahui akan soal – soal
duniamu itu.”
Jawab :
Sasaran dari hadist di atas sebenarnya bukan mengenai “Bid’ah”
melainkan mengenai “Hukum” dan
“tekhnik”
CONTOH :
Hukum membangun Masjid/madrasah adalah urusan Agama.Harus di kembalikan kepada Nabi saw.Artinya harus bersumber dari Al-Qur’an dan Assunnah.Sedangkan tekhnik pembangunanya adalah urusan dunia.dan ini di serahkan kepada umat,terserah menurut peradaban manusia/perkembangan zaman.

Tanya :
Sebagian golongan yang ingkar pada faham Ahli sunnah wal jama’ah
menganggap,ibadat itu hanya ada satu
macam dan harus dari Nabi saw.
Betulkah itu?
Jawab :
Yang benar ‘badat itu ada dua macam :
a. Ibadat muqayyadah ( ibadah yang terkait ) Seperti :
- Sholat wajib lima waktu
- Zakat wajib
- Puasa ramadhan
- Haji dsb…
Ibadat – ibadat ini mempunyai keasliannya dari Nabi dalam segala – galanya,Hukumnya,tekhnik
pelaksanaanya ,waktu dan bentuknya .Kesemuanya di ikat (muqayyad) menurut aturan tertentu tidak boleh di rubah.
b. Ibadat Muthlaqah (ibadah yang tidak terikat secara menyeluruh )
seperti :
- Dzikir
- Tafakkur
- Membaca Al-Qur’an
- Belajar/mengajar ilmu agama,
- Birrul waalidain (berbakti kepada ayah dan ibu) dll
Ibadat – ibadat ini mempunyai keaslianya dari Nabi dalam beberapa hal.Sedang mengenai bentuk dan tekhnik pelaksanaanya tidak di ikat dengan aturan-aturan tertentu,terserah kepada ummat,asal tidak melanggar pokok – pokok Syariat islam.

Kadang-kadang pada ibadat muthlaqah inilah terjadi bid’ah hasanah.Demikian menurut faham Ahli sunnah wal jama’ah.

KESIMPULAN :

Untuk menyimpulkan keterangan di
atas ,kami nuqilkan fatwa Imam

Muhammad Bin Idris Asyafi’i yang di
riwayatkan oleh Abu Nu’aim. Yang artinya : “Bid’ah itu ada dua
macam ,Bid’ah yang terpuji dan yang
tercela.Maka mana saja yang sesuai
Assunnah ,maka itulah yang
terpuji.Dan mana saja yang
bertentangan/menyalahi Assunnah,maka itulah yang tercela.”

Alhadidy dalam syarah ilmu balaghah
menyebutkan Yang artinya :
“Lafadz Bid’ah di pakai untuk dua pengertian.
Pertama ialah sesuatu yang di persalahkan denganya akan Al- Qur’an dan Alhadist ,Seperti berpuasa di hari nahar atau dihari tasyriq karena pada hari-hari itu,walaupun namanya puasa,tetapi itu termasuk sesuatu yang di larang.

Yang kedua sesuatu yang tidak datang padanya Nash,bahkan mendiamkannya,maka hal- hal tersebut di lakukan oleh orang- orang islam sesudah Nabi saw.wafat.Dan apa yang di riwayatkan dari sabda Rasulullah saw.”tiap-tiap yang sesat itu dalam neraka”.Maka tafsiranya di tanggungkan pada pengertian yang pertama,

sedang ucapan sayyidina umar ra.dalam hal mengumpulka dalam solat tarowih : Sesungguhnya dia itu bid’ah dan sebaik-baik bid’ah itu ,inilah…. di tanggungkan atas tafsir bid’ah menurut pengrtian yang kedua.”

Albaihaqi meriwayatkan dalam manaqibnya : ًYang artinya. “Ciptaan-ciptaan baru itu ada dua macam.sesuatu yang bertentangan/ menyalahi Al-Quran/Assunnah,Atsar/ Ijma’,maka inilah bid’ah yang sesat.Sedang yang terdiri dari kebaikan,yang tidak bertentangan dengan Al-qur’an/Assunnah/ ijma’.Maka inilah bid’ah yang tidak tercela.”

Tanya :
Kalau begitu bagaimana mengikuti faham Ahli Sunnah wal
jamaah itu?
Jawab :
Mengikutinya hukumnya wajib.
Dalam Almajalisus saniyah,halaman 88 disebutkan sbb :Yang artinya : “Di dalam kitabnya “ ALGHUNIYAH “ Syekh Abdul qodir Aljailaniy berkata : Wajiblah atas orang mukmin,mengikuti Assunnah dan Aljamaah.Maka arti yang Assunnah yaitu sesuatu yang di contohkan oleh Rasulullah saw.Sedangkan Aljamaah,yaitu sesuatu yang sudah sepakat atasnya para sahabat ra seluruhnya,pada masa khilafah imam-imam empat,Khalifah lurus lagi terpimpin RADHIYALLAHUANHUM

Begitulah cara para ulama salafus shalihin dalam memahami makna dari sebuah hadist.karna hadist Nabi di sajikan dalam bentuk bahasa arab,tentunya perlu berbagai disiplin ilmu untuk memahaminya.Tidak bisa langsung di fahami secara serampangan dengan cuma mengartikan makna textnya saja.

Semoga kita di beri Alloh hidayah.Supaya kita bisa betul betul bisa memahami hadist hadist beliau dan mengikutinya dengan benar.
Amiin......